a. Zaman Berburu dan Mengumpulkan Makanan
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia purba hidup sangat
sulit karena keadaan alam masih belum stabil. Letusan gunung berapi
masih sering terjadi, aliran sungai kadang-kadang berpindah sejalan
dengan perubahan bentuk bumi. Karena sulitnya untuk mencari makanan,
pertumbuhan populasi manusia purba sangat sedikit dan banyak yang
meninggal dan akhirnya punah. Manusia purba pada zaman berburu dan
mengumpulkan makanan selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang
dapat memberikan makanan yang cukup. Pada umumnya mereka bergerak tidak
terlalu jauh dari sungai-sungai, danau atau sumber-sumber air yang lain,
karena binatang buruan selalu berkumpul di dekat sumber air. Di
tempat-tempat yang demikian itu kelompok manusia prasejarah menantikan
binatang buruan mereka. Selain itu, sungai dan danau juga merupakan
sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di
sekitar sungai biasanya tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman yang
buahnya atau umbinya dapat dimakan.
Di
danau mencari ikan dan kerang, ada pula yang memilih daerah pedalaman.
Tumpukan bekas makanan berupa kulit kerang banyak ditemukan di pantai
atau di tepi sungai. Ada juga yang memilih gua-gua sebagai tempat
sementara berdasarkan penemuan kerangka manusia yang dikuburkan, rupanya
mereka sudah mengenal semacam sistem kepercayaan. Lama kelamaan
kelompok manusia berburu dan mengumpulkan makanan menunjukkan tanda
hidup menetap, suatu perkembangan ke arah masa bercocok tanam. Pada masa
berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal
di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di
daerah pantai, ada pula yang memilih tempat tinggal di daerah pedalaman.
Mereka yang tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang dan
ikan laut. Bekas tempat tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena
dijumpai sejumlah besar kulit-kulit kerang yang menyerupai bukit kulit
kerang serta alat-alat yang mereka gunakan. Sisa-sisa makanan yang
berupa timbunan atau gugusan kulit kerang itu, yang artinya sampah
dapur. Ada pun sisa alat-alat yang ditemukan dalam gugusan kulit kerang
antara lain berupa anak panah atau mata tombak yang berbentuk khusus
untuk menangkap ikan. Kelompok yang memilih bertempat tinggal di daerah
pedalaman pada umumnya memilih tempat tinggal di tepian sungai-sungai.
Selain dari binatang buruan, mereka juga hidup dari ikan di sungai.
Kelompok yang bergerak lebih ke pedalaman lagi, sisa-sisa budayanya
sering ditemukan di dalam gua-gua yag mereka singgahi dan untuk tempat
tinggal sementara dalam pengembaraan mereka. Gua-gua ini letaknya pada
lereng-lereng bukit yang cukup tinggi, sehingga untuk memasuki gua-gua
itu diperlukan tangga-tangga yang dapat ditarik ke dalam gua, jika ada
bahaya yang mengancam. Untuk menghadapi berbagai ancaman, manusia itu
hidup berkelompok dan jumlahnya tidak terlalu banyak. Biasanya mereka
berada agak lama di
daerah yang mengandung cukup banyak bahan makanan, terutama umbi-umbian
dan dedaunan, dekat sumber air, serta dekat dengan tempat-tempat mangkal
binatang buruan. Mereka kemudian akan melakukan
pengembaraan atau berpindah ke tempat lain. Di tempat sementara ini,
kelompok berburu biasanya tersusun dari keluarga kecil dengan jumlah
kurang lebih 20 sampai 50 orang. Tugas berburu binatang dilakukan oleh
orang laki-laki sedangkan orang perempuan bertugas mengumpulkanmakan,
mengurus anak, dan mengajari anaknya dalam meramu makanan. Ikatan
kelompok pada masa ini sangat penting untuk mendukung berlangsungnya
kegiatan bersama.
b. Zaman Bercocok Tanam
Kelompok-kelompok
kecil pada masa bercocok tanam makin bertambah besar, karena masyarakat
telah mulai menetap dan hidup lebih teratur. Kelompok-kelompok
perkampungan tumbuh menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar misalnya
klan, marga dan sebagainya yang menjadi dasar masyarakat Indonesia
sekarang. Kehidupan masyarakat menjadi semakin kompleks setelah mereka
tidak saja tinggal di goa-goa, tetapi juga memanfaatkan lahan-lahan
terbuka sebagai tempat tinggal. Dengan bertempat tinggal menetap mereka
mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mengembangkan teknologi
pembuatan alat dari batu. Perubahan cara hidup dari mengembara ke
menetap akhirnya berpengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya.
Cara hidup berburu dan meramu secara berangsur-angsur mulai
ditinggalkan. Mereka memasuki tahapan baru yaitu bercocok tanam ini
merupakan peristiwa penting dalam sejarah perkembangnan dan peradaban
manusia. Dengan penemuan-penemuan baru, mereka dapat menguasai
alam, terutama yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup mereka.
Ada jenis-jenis tumbuhan mulai dibudidayakan dan bermacam-macam binatang
mulai dijinakkan. Dengan perkembangannya cara bercocok tanam dan
bertani, berarti banyak hal yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan
tersebut yang tidak mungkin dapat dipenuhi sendiri. Kondisi inilah yang
kemudian mendorong munculnya kelompok-kelompok spesialis atau undagi,
misalnya kelompok ahli pembuatan rumah, pembuatan gerabah, dan pembuatan
alat-alat logam.
Pada tahapan berikutnya, kegiatan pertanian membutuhkan satu organisasi
yang lebih luas yang berfungsi untuk mengelola dan mengatur kegiatan
pertanian tersebut. Dari organisasi itu kemudian menumbuhkan organisasi
masyarakat yang bersifat chiefdoms atau masyarakat yang sudah
berkepemimpinan. Dalam masyarakat yang demikian itu sudah dapat
dibedakan antara pemimpin dan yang dipimpin. Pengakuan terhadap pemimpin
tidak sekadar karena faktor keturunan, tetapi juga dianggap mempunyai
kekuatan yang
lebih dan berkedudukan tinggi. Para pemimpin tersebut sesudah meninggal arwahnya tetap dihormati karena
kelebihan yang dimilikinya itu. Untuk menghormati sang arwah,
dibangunlah tempat-tempat pemujaan seperti tampak pada
peninggalan-peninggalan punden berundak. Selain dapat menunjukan tempat
pemujaan arwah, keberadaan punden berundak juga dapat menjadi bukti
adanya masyarakat yang sudah berkepemimpinan. Punden berundak merupakan
bangunan tempat melakukan upacara bersama. Dalam melaksanakan upacara
itu, juga dipimpin oleh seorang pemimpin yang disegani oleh
masyarakatnya. Pada masa itu ada kemungkinan sudah terbentuk desa-desa
kecil. Pada mulanya hanya bentuk rumah agak kecil dan berdenah melingkar
dengan atap daun-daunan. Kemudian rumah seperti itu berkembang dengan
bentuk yang lebih besar yang dibangun di atas tiang penyangga. Rumah
besar ini bentuknya persegi panjang, dihuni oleh beberapa keluarga inti.
Di bawah tiang penyangga rumah digunakan untuk memelihara ternak.
Apabila musim panen tiba mereka berpindah sementara di dekat
ladang-ladang dengan membangun rumah atau gubuk-gubuk darurat.
Binatang-binatang piaraan mereka juga dibawa. Tidak mustahil pada masa
itu, mereka sudah menggunakan
bahasa untuk komunikasi. Para ahli menduga bahwa pada masa bercocok
tanam menetap ini, mereka sudah menggunakan bahasa Melayu-Polenesia atau
rumpun bahasa Austronesia. Pada masa bercocok tanam mulai muncul
kelompok-kelompok profesi, hubungan perdagangan, dan adanya
kontak-kontak budaya menyebabkan kegiatan masyarakat semakin kompleks.
Situasi semacam itu tidak saja menunjukkan adanya pelapisan masyarakat
menurut kehlian dan pekerjaannya tetapi juga mendorong perkembangan
teknologi yang mereka kuasai.
c. Zaman Perundagian
Pada masa perundagian, masyarakat telah hidup di desa-desa di daerah
pegunungan, dataran rendah dan tepi pantai. Susunan masyarakatnya makin
teratur dan terpimpin. Masyarakat dipimpin oleh ketua adat yang
merangkap
sebagai kapala daerah. Ketua adat dipilih oleh masyarakat, yaitu orang
tua yang banyak pengetahuan dan pengalamannya mengenai adat dan
berwibawa terhadap masyarakat. Kepala daerah yang besar wibawanya
kemudian membawahi kepala-kepala daerah lainnya dan makin besar
kekuasaannya. Ia bertindak seperti seorang raja dan itulah permulaan
timbulnya raja-raja di Indonesia.
Untuk menaikkan derajat dalam masyarakat, orang berusaha membuat jasa
sebanyak-banyaknya, biasanya dengan melakukan hal-hal atau
perbuatan-perbuatan luar biasa dan memperlihatkan keberaniannya sehingga
mendapatkan kepercayaan untuk memperoleh kedudukan sebagai pemimpin.
Misalkan dalam perburuan binatang buas sepert harimau. Berdasarkan hasil
penelitian terhadap kebiasaan masyarakat pada masa perundagian yang
sering melakukan upacara khusus dalam acara penguburan mayat para
pemimpin mereka,
menunjukan bahwa masyarakat pada waktu itu telah memiliki norma-norma
dalam kehidupan, terutama sikap menghargai kepemimpinan seseorang. Walau
dapat kita dipastikan bahwa masyarakat pada masa itu didasarkan atas
gotong royong, namun telah berkembang norma-norma yang mengatur hubungan
antara lain yang dipimpin dan yang memimpin. Adanya norma-norma yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat pada
masa perundagian menunjukan bahwa pada masa ini terdapat hasil-hasil
kebudayaan berupa norma-norma. Bila dilihat dari hasil kebudayaan yang
berwujud peraturan. Pada masa perundagian masyarakat telah mengenal
suatu peraturan yang harus ditaati oleh semuanya. Salah satunya adalah
peraturan dalam Penguburan mayat di tempayan. Penguburan dalam tempayan
ini hanya dilakukan terhadap orang-orang yang berkedudukan penting dalam
masyarakat. Selain itu, terdapat juga aturan dalam penggunaan harta
kekayaan. Penguasaan dan pengambilan sumber penghidupan diatur menurut
tata tertib dan kebiasaan masyarakat. Pemakaian barang-barang dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari didasarkan atas sifat magis dari
barang-barang tersebut.