Saturday, 18 January 2014

Hit The Lights : Perjalanan Panjang Menuju Stage Metallica


Seringai di Hammersonic Festival 2013. foto oleh Rendha Rais.
Sebuah cerita dari vokalis Seringai, Arian13, dari gagal menonton konser Metallica di tahun 1993 hingga bandnya, Seringai, menjadi opening act konser mereka di tahun 2013.
“Kalau Seringai kosong nggak ya tanggal 25 Agustus?” sebuah telefon dini hari jam 2 pagi dari Mas Krishna Radhitya, promotor Black Rock Entertainment, sekitar 10 hari sebelum hari H. Sebelumnya, Maha dari Marketbiz Future Media mengabari saya meminta ijin memberikan nomor saya kepada promotor.
“Umm. Kosong lah Mas, kan kami mau menonton konsernya.” jawab saya, sambil menebak-nebak arah pembicaraan ini.
“Gue nggak menjanjikan apa-apa, tapi kalau kalian kami rekomendasikan jadi opening act untuk konser Metallica, siap nggak?” Kaget, tapi saya segera menjawab tanpa ragu,
“Siap Mas!” jawab saya percaya diri dan juga sok cool. Pembicaraan singkat berakhir, dan saya menghubungi Ricky, gitaris Seringai, karena biasanya dini hari dia masih bangun. Rekan-rekan satu band saya kabari keesokan harinya. Jelas, semua kaget di awal, dan tidak terlalu percaya, kamipun memutuskan kalau tidak menaruh harapan besar juga, karena kalaupun tidak jadi, ya tidak apa. Sambil mencela-cela drummer Khemod yang pernah mengetwit mengusulkan kalau sebaiknya di konser Metallica jangan ada opening act, dan sekarang kalau memang terjadi, dia harus menjilat ludahnya sendiri. Haha.
Menjadi opening act memang bukanlah suatu kesempatan yang sering didapat oleh Seringai, karena memang kami sendiri adalah fans musik ini, dan senang mendatangi konser-konser band-band yang kami suka. Pernah sekali Seringai menjadi salah satu opening acts untuk konser Dragonforce, namun event ini lebih terasa sebagai event festival kecil dibandingkan menjadi opening act sang headliner. Malahan, kami lebih merasa senang karena salah satu opening acts-nya adalah Roxx, band favorit kami semua. Ketika soundcheck, kami justru lebih  excited untuk foto bersama Roxx dibanding bersama Dragonforce. Kesempatan kedua, dulu datang dari promotor Anthrax. Ya, kami ditawarkan untuk menjadi opening act Anthrax. Namun hal ini tidak pernah terwujud, karena ketika itu konser Anthrax sempat harus mundur tanggalnya karena suatu hal. Tidak menjadi masalah juga, karena ketika konser, kami menonton dan senang bukan kepalang berada di dalam moshpit nan raksasa itu di Ancol.
Anyway. Kami kemudian sempat mengobrol lebih dalam dengan Mas Khrisna dan Priam dari Black Rock Entertainment tentang rencana mereka merekomendasikan Seringai menjadi opening act Metallica. Setahu kami, memang tidak hanya Seringai yang diajukan, tapi ada beberapa band lokal lain yang juga diajukan. Kami diminta menyiapkan Electronic Press Kit [EPK], jadi dalam selang 2 hari setelah meeting tersebut kami sedikit ekstra sibuk menyiapkan EPK, karena memang belum pernah membuat EPK. EPK adalah hal yang standar dimiliki oleh band, sementara 11 tahun eksistensi Seringai, kami tidak pernah membuat EPK. Setelah jadi, EPK ini saya kirim kepada Black Rock Entertainment, dan berusaha untuk tidak dipikirkan. Tentu saja, kami tidak bisa bohong: kami selalu memikirkannya. Haha.
Suatu sore, 4 hari sebelum hari H, Mas Khrisna menghubungi lagi.
Sudah confirmed tuh dari Metallica, kalian akan membuka untuk mereka.” Anjing. Anjiiiing. Haha. Bukannya doa syukur yang saya panjatkan, kok malah kata-kata yang termasuk jenis sumpah serapah yang keluar dalam hati. Tentu saja bukan tidak senang, tapi itu ungkapan excitement yang teramat besar. Rupanya ketika Metallica show di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal 21 Agustus kemarin, pihak Black Rock Entertainment ada yang harus menemui manajemen Metallica, dan mendapat kabar kalau profile Seringai di-approve oleh mereka. Nah, yang saya tidak pernah tahu waktu itu, adalah apakah ‘mereka’ itu adalah para personil Metallica-nya sendiri, atau manajemen Metallica yang mengambil keputusan. Saya juga tidak banyak tanya, karena ini memang sudah confirmed, ya kami jelas harus mempersiapkan diri karena ini mungkin menjadi salah satu momen paling besar bagi kami. Belakangan, kami tahu kalau bukan para personil Metallica yang memilih opening act, tapi pihak manajemen mereka. Tidak masalah, tetap saja kami senang!
Seringai memang band yang besar di berbagai panggung, dari klub kecil seperti di BB’s Cafe, Parc, atau sekarang Borneo Beerhouse yang dipadati oleh 50-100 orang, hingga ke panggung besar seperti Soundrenaline, Hammersonic dan Bandung Berisik yang bisa dipadati hingga 30.000-40.000 orang. Dan, kami memang latihan rutin nyaris setiap minggu sekali. Antara supaya jangan sampai lupa part, atau sekalian mencoba membuat lagu baru. Beberapa bulan terakhir ini, kami sedang sering latihan untuk membuat lagu-lagu baru yang rencananya akan kami rilis bersama sebuah band yang kami akrabi dan sukai; sebuah album split. Bagi mereka yang tidak kenal Seringai, kami sudah merilis 2 buah album penuh, sebuah mini album, dan berbagai lagu di kompilasi musik underground/independen lokal sejak tahun 2003, 1 tahun setelah kami berdiri.
Untuk bermain live, saya selalu percaya kalau band harus tetap mengeluarkan energi yang sama walaupun bermain untuk 5 orang atau 5000 orang. Bermainlah untuk diri sendiri, ketika kamu menikmatinya, tidak ada hal lain yang  lebih penting.
Seberapa besar Metallica berpengaruh bagi saya?
Besar. Besar sekali. Saya tumbuh di era Metallica merilis album-album masterpiece-nya. Rekaman mereka yang saya miliki, adalah sebuah kaset ‘The Very Best Of Metallica’ di tahun 1987, lupa rilisan mana. Yang pasti rilisan ini adalah era dimana album musik masih menjadi barang bajakan yang dijual resmi di toko-toko kaset lokal. Isinya, kompilasi terbaik dari lagu-lagu Metallica dari album Kill ‘Em All hingga album Master Of Puppets. Sebelumnya musik metal yang saya dengarkan paling mentok adalah Iron Maiden. Seperti tipikal metalheads pada umumnya, semakin kemari semakin mencari musik yang makin ekstrim.
Ketika tahun 1988 semua kaset bajakan dilarang dan ditarik dari peredaran, saya ingat Metallica merilis …And Justice For All. Album ini belum dirilis resmi juga disini, jadi ada beberapa label yang menjualnya kaset bajakannya secara diam-diam. Saya mendapatkannya, bersama album Appetite For Destruction-nya Guns N’ Roses. Tahun-tahun ini saya masih duduk di SMP. Awal bermain band, saya ingat lagu –lagu pertama yang kami ulik adalah “Seek And Destroy”, “Master Of Puppets”, “Jump In The Fire” dan juga “I Believe In Miracles” dari The Ramones. Mulai bermain di panggung-panggung acara sekolah dan juga panggung 17 Agustusan. Pada era ini kebanyakan band pada waktu itu memainkan musik fusion jazz, atau new wave. Sementara band-band rock/metal-nya, identik dengan musik hard rock hairbands dan juga power metal dengan vokal tinggi melengking dengan dandanan glam rock. Sementara Metallica, kalau melihat dari foto-foto majalah-majalah musik dan skate import, tidak jauh berbeda dengan gaya kami: t-shirt, jeans, dan sepatu kets. T-shirt-tshirt band yang sering digunakan oleh James Hetfield dan Kirk Hammett sering kali membuat kami ingin mencari tahu lebih banyak tentang band-band tersebut. The Misfits, Danzig, Faith No More, Discharge, Metal Church, Onslaught.. dan tentunya jaman sebelum internet ini kalau mau mencari rekaman import, harus menitip ke kerabat yang bepergian ke luar negeri. Drummer Seringai, Khemod, memulai ‘karir’ bermain bandnya dalam sebuah band thrash metal yang diberi nama, Orion. Awal ‘90an Orion cukup memegang panggung-panggung rock dan metal underground di Bandung, walau tidak memiliki lagu sendiri, hanya meng-cover lagu-lagu metal yang disukai, termasuk Metallica.
Saya ingat tahun 1990 sekolah mengadakan tur wisata ke Jogja. Saya dan beberapa teman sekelas membuat sebuah poster besar bertuliskan ‘Metallica Tour 1990’ untuk ditempelkan di bis kami. Kami berkhayal menjadi salah satu band favorit kami dan sedang tur.

Study tour ke Jogja bersama SMP St.Aloysius, Bandung. penulis, paling kanan.
Awal 2013, album Seringai, Taring, berhasil terjual cukup banyak sejak dirilis Juli 2012, sekitar 25.000 kopi. Karena kami rilis sendiri, tentu saja tidak banyak potongan-potongan lain yang jatuh ke pihak lain, kebanyakan kembali masuk ke manajemen band. Kami memutuskan menggunakan sebagian uang kas kami untuk berangkat ke Perth, Australia, Maret kemarin untuk menonton Soundwave Festival 2013. Sesekali liburan bagi band! Ada banyak band keren yang bermain disana: Slayer, Anthrax, Fantomas, Ghost, Orange Goblin, Red Fang, Vision Of Disorder, Kyuss Lives, dan lainnya. Headliner-nya, Metallica. Kami sangat excited dan ketika Metallica akhirnya tampil memainkan lagu-lagu yang kebanyakan kami kenal, itu adalah sebuah pengalaman yang tak terlupakan dan juga mengharukan. Kami selalu bercanda kalau kini kami sudah menyaksikan The Big 4 walau secara terpisah, tapi sudah sah menjadi haji metal yang mabrur. Dan juga, mengobrolkan bagaimana Indonesia nampaknya sulit untuk mendatangkan band metal besar ini, mengingat produksinya tampak sangat mahal, bahkan mungkin melebih fee Metallica sendiri. Ketika pulang, sebulan kemudian kami justru mendengar kalau ada promotor yang cukup gila untuk mendatangkan Metallica. Fukk. Terbayang akan seru menonton band kesayangan di tanah sendiri. Kami selalu bercerita kepada teman-teman kami yang tadinya ragu agar menonton Metallica live. You have to see them, it’s a great experience!
Sampai ketika promotor Black Rock Entertainment sudah resmi akan membawa mereka kemari, saya dan Wendi aktif ikut mempromosikan dengan passionate, tanpa ada yang meminta. Sebelumnya, memang ada sedikit keraguan karena konsernya masih belum jelas, jadi saya dan teman-teman membeli tiket konser Metallica di Singapura juga yang sudah fixed duluan. Nonton 2 kali untuk band sekeren Metallica tidak apa. Ketika penjualan tiket konser di Jakarta dibuka, saya dan kawan-kawan segera mem-booking tiket. Kalau semua berjalan lancar, tahun ini kami bisa menonton Metallica hingga 3 kali. Masalah dana, kami memang kemudian bekerja keras mencari dana ekstra.
Lalu tidak lama kemudian Aditya Pratomo [@kotakmakan] membuat sebuah akun Twitter, @DemiMetallica dan hashtag #DemiMetallica. Ini akun untuk membantu para metalheads yang ingin menonton band favoritnya tapi masih kekurangan dana. Mereka bisa berjualan apa saja, atau bahkan berjualan jasa  dan dipromosikan disana. Saya ikut mempromosikan akun ini, karena saya suka sebal kalau ada fans yang hanya bisa mengeluh tapi tidak berusaha lebih keras demi bisa menonton band favoritnya, dan ketika gagal menonton, menyesal seumur hidup. #DemiMetallica adalah sebuah kesempatan yang bagus. Dan ‘gerakan’ ini ternyata sukses besar, bahkan diliput oleh beberapa media nasional. Banyak orang yang menggunakan #DemiMetallica untuk berjual-beli, dan mulai banyak orang yang akhirnya mendapatkan dana tambahan untuk membeli tiket. Sayapun berhasil menjual beberapa t-shirts, CDs dan vinyl records untuk menggantikan tiket konser Singapura dan Jakarta. Senang!
Rupanya, kegiatan kami di ranah sosial media diperhatikan oleh pihak promotor. Kami kemudian ditunjuk promotor lewat Marketbiz Future Media untuk ikut meramaikan program promosi konser ini sebagai buzzer, dengan imbalan beberapa tiket Festival. Wah. Berarti tiket yang sudah kami beli bisa dijual kembali. Atau, tiket komplimentari ini bisa diberikan kepada teman yang memang benar-benar tidak mampu membeli tiket. Kami kebagian mempromosikan dan membagikan tiket gratis lewat kuis dengan hashtag #AndJustix4All, yang berlangsung seru. Biasanya, menjadi buzzer itu ada kuotanya, beberapa kali twit. Untuk yang ini, kuota twit malah banyak sekali, karena memang senang melakukannya. Ketika program selesai, impression yang didapat dari sosial media ternyata hingga 30 juta! Bukan main. Antusiasme orang memang  hebat, dan saya suka kepada fakta kalau orang mau sedikit lebih berusaha, pasti bisa tercapai tujuannya. Belakangan, passion kami/saya ini dituduh sebagai usaha menjilat promotor supaya band saya dapat menjadi opening act Metallica oleh seorang ‘kawan’. Hehe. Oh, well.
Flashback sedikit.
Tahun 1993, promotor AIRO Production milik Setiawan Djody mengundang Metallica untuk main disini. Kegirangan, tentu saja kami segera menabung untuk membeli tiket. Harganya Rp.40.000 untuk festival. Dulu, harga tiket sebesar ini termasuk lumayan mahal, apalagi untuk seorang anak SMA. Tapi saya dan 3 teman lainnya, Robin, Adjie dan Yogi, segera membeli tiket di sebuah radio rock ternama di Bandung, karena tidak ingin kehabisan tiket. Lalu mengumpulkan uang atau meminta kepada orang tua untuk uang saku tambahan menuju Jakarta karena kami semua tinggal di Bandung.
Hari yang ditunggu-tunggu tiba, dan kami berangkat menggunakan bis, dan tiba di Kampung Rambutan sekitar pagi hari dan berangkat ke tempat saudara teman dimana kami akan menginap, di bilangan Slipi. Menuju venue konser di Stadion Lebak Bulus, kami menggunakan taksi karena tidak tahu harus pakai angkutan umum mana.  Mata kami tidak berhenti memperhatikan jumlah angka di argo taksi, karena uang kami mepet: saya ingat akhirnya kami harus mengeluarkan Rp.7.000 untuk perjalanan ini, berpatungan. Tahun 1993, jumlah ini lumayan besar bagi anak SMA dari Bandung. Haha. Taksi kami harus berhenti di Pondok Indah karena jalanan sudah macet oleh calon penonton konser Metallica. Kami melanjutkan jalan kaki menuju Stadion Lebak Bulus, dan ketika tiba tidak segera masuk tapi melihat-lihat suasana dulu. Yang tidak kami ketahui, ternyata crowd ini adalah mereka yang tidak punya tiket tapi ingin masuk gratis.
Mulai terasa keanehan ketika crowd mulai melempari mobil polisi, dan kemudian mulai membakar warung-warung yang tutup. Tentara mulai berdatangan dan membubarkan massa. Kami berlarian menuju tempat aman, dan berusaha mendekati venue kembali. Tapi tentara selalu menghalau kami, dan jadinya kadang seperti kucing-kucingan. Akhirnya gelombang tentara lebih banyak membubarkan massa, dan kami dipukuli.
“Pak! Kami punya tiket nonton!” teriak kami sambil menunjukkan tiket kami, berharap mereka memberi jalan menuju ke venue. Tapi sambil mengacungkan tongkat besar kepada t-shirt Corrosion Of Conformity yang saya kenakan, sang tentara merespon,
“Ah kalian gondrong, baju hitam-hitam.. DASAR KOMUNIS KALIAN!” Sebelum tahun 1998, ketika kamu mendapat stigma ‘komunis’ itu rasanya seperti dikonfirmasi akan dihukum mati. Jadi kami ketakutan dengan memar-memar di tangan, badan dan kaki, berlari menyelamatkan diri dari kejaran aparat dan memaki di dalam hati. Rasanya tidak mungkin kalau konser Metallica tetap berjalan. Setelah jauh berlari dan merasa sedikit aman, baru kami beristirahat di dekat jalan Ampera. Kehausan, tidak ada warung yang buka untuk mencari minum, karena semuanya tutup lebih awal, mungkin karena takut akan ada apa-apa. Waktu ini flyover/jalan tol Jakarta Outer Ring Road [JORR] masih dibangun, dan kami duduk-duduk saja di pinggir jalan, bingung mau kemana, karena kalau pulang juga naik apa. Tidak ada taksi kosong yang mau berhenti untuk kami, 4 pemuda gondrong tanggung dengan tshirt hitam-hitam. Sampai akhirnya salah satu diantara kami menyuruh kami bersembunyi dulu dan dia sendiri akan menghentikan taksi. Taktik ini berhasil. Ketika sebuah taksi mau berhenti, segera 3 orang lain masuk ke dalam taksi. Kami berhasil pulang naik taksi sekitar jam 11 malam. Gagal sudah menonton band metal favorit kami.
Tiba di rumah saudara, keluarga saudara teman kami heran karena kami tampak loyo. Mereka tidak tahu ada kerusuhan di daerah Lebak Bulus. Media sosial belum ada, informasi tercepat adalah lewat telefon, TV dan radio. Kami tidak langsung tidur, tapi mengobrol dan mentertawakan kesialan kami. Beberapa kali ada kerusuhan konser rock di Bandung, tapi rasanya tidak pernah sesial ini. Kami berasumsi, kerusuhan besar seperti tadi tidak mungkin membuat konsernya jadi. Kamipun tertidur kecapekan.
Pagi kami dibangunkan Robin, yang sambil berlari menghambur ke kamar tempat kami tidur, setengah berteriak,
“Konser semalam jadi! Anjiiing! Kok jadi sih?” Kami kira tidak mungkin konsernya akan berjalan, ternyata tetap jadi. Headline koran memberitakan kesuksesan konser tersebut, dan juga kerugian yang dihasilkan karena kerusuhan di luar Stadion Lebak Bulus. Metallica konser 2 hari memang, tapi kami sudah tidak punya uang untuk membeli tiket hari kedua. Setengah frustrasi, kamipun kembali ke Bandung. Kami tidak pernah tahu kalau hari itu konser Metallica dibuka untuk umum alias gratis.
Cerita bodoh ini sempat masuk ke dalam film dokumentasi Global Metal dengan sutradara Sam Dunn dan Scot McFadyen dari Banger Films, Inc., Kanada. Kalau belum menonton, well, you should. Liisa Ladouceur, salah satu tim Banger Films, pernah mengirimkan email kepada banyak scenester metal di Indonesia, tapi yang merespon waktu itu ternyata hanya saya, Wendi dari Rolling Stone Indonesia dan Moel, vokalis Eternal Madness, Bali. Sebelum dan sesudah syuting di Indonesia, saya kemudian membantu Sam Dunn mencari video footage kerusuhan konser Metallica tahun 1993 ini. Semua stasiun televisi saya hubungi tapi hasilnya nihil. Bahkan, ketika saya menghubungi Arief Suditomo yang waktu itu menjadi pemimpin redaksi SCTV via telefon, saya dinyinyiri dan dituduh sebagai antek Barat yang ingin menjelek-jelekkan bangsa sendiri. Bingung. Karena saya yakin maksud dari film Global Metal bukan kesana. Tapi akhirnya Sam Dunn berhasil mendapat video footage kerusuhan langsung dari Lars Ulrich drummer Metallica yang mengubek-ubek gudang dokumentasi Metallica dan menemukan footage tersebut. “Arian, you won’t believe what I have found. Lars finally found the video footage of the 1993 Jakarta Metallica concert! Can’t wait to show it to you!” Kini hasilnya bisa kita saksikan di film Global Metal. Sebuah sejarah.
Kembali ke masa sekarang.
Hari Rabu, 21 Agustus, Black Rock Entertainment mengumumkan via akun twitter mereka tentang opening act konser Metallica, yang kemudian ikut diumumkan oleh akun-akun media sosial Seringai. Ternyata, dukungan yang masuk begitu banyak. Sejak hari itu mention dan komen di media sosial kami nyaris tidak pernah berhenti. Dan mulai siang hari, kami mulai dibanjiri interview oleh media-media nasional, dan juga stasiun radio. Bergantian antara saya, Ricky, Sammy dan Khemod, semua kebagian interview lewat telefon. Sebuah media TV bahkan datang ke studio latihan kami menjelang tengah malam untuk interview, karena memang hari tersebut kami ada jadwal latihan. Telefon, SMS, messages di media sosial juga dibanjiri ucapan selamat dan dukungan dari teman-teman kami, yang ikut merasa bangga karena kami jadi opening act Metallica. Beberapa teman yang sudah lama tidak berjumpa, juga ikut menghubungi kami, karena memiliki excitement yang besar. Hal ini semua semakin membuktikan kalau konser Metallica ini sudah menjadi isu nasional.
Dan resiko terpilih menjadi opening act Metallica, tentu saja ada yang kontra. Antara mereka yang berpikir secara sederhana kalau tidak perlu ada opening act agar mereka bisa langsung menonton band kesayangannya, hingga yang simply iri. Memang, hal-hal ini tidak terlalu kami pikirkan karena toh dukungan yang masuk sungguh jauh lebih besar daripada mereka yang kontra. Tapi tetap saja ada beberapa komen yang menurunkan mood, apalagi beberapa komen ini datang justru dari so called teman-teman dalam skena metal/underground. Ada yang melempar gosip kalau pihak Seringai membayar promotor untuk menjadi opening act [berapakah kira-kira uang kami? berapa kira-kira ‘harga’ untuk menjadi opening act Metallica?], ada yang bilang kalau ini semua pasti politik dari label rekaman [dan label kami adalah label kami sendiri, haha!], hingga saya dituduh menjilat promotor agar jalan menjadi mulus. I don’t know man, I love the band as much as you do.  I grew up with Metallica. I grew up with the so called local underground/independent scene. Maybe I happen to have a little more luck than you. I am not sorry, I feel grateful.
Tentu saja, pada akhirnya kami fokus kepada kami sendiri untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik agar siap, dan tidak mendengarkan pendapat-pendapat lain yang tidak membantu. Selain latihan intensif, kami juga berdiskusi apa yang dapat kami tampilkan untuk event ini. Berhubungan dadakan, tentu saja tidak dapat menampilkan sesuatu yang spektakuler dan menguras dana, apalagi untuk performance ini kami sama sekali tidak dibayar kecuali fee produksi dan itu tidak masalah. Awalnya, gitaris Ricky beride untuk menampilkan Stevie Item dari band death metal DeadSquad untuk mengisi lead guitar di lagu “Tragedi”. Saya, Khemod dan bassis Sammy setuju. Ketika sedang mengobrol dengan Eben gitaris Burgerkill dari Bandung, saya mendapat ide untuk menampilkan Eben dalam lagu “Dilarang Di Bandung”, karena sebelumnya dia pernah membawakan lagu itu. Lalu mengusulkan Stevie untuk mengisi dalam lagu cover Motörhead, “Ace Of Spades” saja karena dia sudah pernah tampil bersama kami dengan lagu itu, tidak jadi dalam lagu “Tragedi”. Latihannya akan jauh lebih mudah. Saya mengajak Adjie vokalis metal Down For Life dari Solo juga untuk mengisi sebagian vokal di “Ace Of Spades”. Semua teman ini kami pilih karena sudah pernah memiliki pengalaman bermain dan berkolaborasi bersama, mengingat adanya keterbatasan waktu persiapan. Intinya, kami ingin berbagi pengalaman sebesar ini dengan kawan-kawan kami sehingga tidak hanya Seringai saja yang mengalami dan ‘memiliki’. Kalau saja secara teknis dan waktu memungkinkan, kami pasti lebih banyak mengundang teman-teman musisi untuk berkolaborasi bersama. Bayangkan sebuah backstage yang seru! The more the merrier!
Beberapa info teknis awal mulai masuk dari pihak promotor, dan kami tidak dapat menggunakan visual dan audio: biasanya untuk show yang besar, kami menggunakan visual dan juga audio tambahan, seperti apa yang kami lakukan di Hammersonic Festival dan Bandung Berisik. Jadi tentu saja kami harus mencari ide lain, dan tiba-tiba saya terpikir untuk menampilkan penyanyi pop Raisa untuk menyanyikan lagu lokal atau bahkan lagu kebangsaan sebagai part dari show Seringai. Tadinya beride Raisa menyanyikan lagu Batak “Lissoi “ seperti yang kami cover, tapi karena waktu tidak memungkinkan untuk menghafalkan “Lissoi”, saya meminta Raisa lewat manajernya, Adry Boim, untuk menyanyikan “Indonesia Raya”. Pada awalnya Raisa masih ragu, karena mungkin merasa tidak nyambung: perhelatan metal akbar kok yang ikut ambil bagian malah dia. Akhirnya saya berhasil meyakinkan Adry Boim dan Raisa, dan mereka mau ikut berpartisipasi. Mantap!
Setelah soundcheck di hari Jumat, 23 Agustus, kami nyaris mendapat segala informasi detail tentang performance kami. Dari equipment atau sound system mana saja yang boleh digunakan, dan hal teknis lainnya. Sound kami yang dikeluarkan oleh manajemen Metallica hanya boleh maksimum 86 dB, sementara headliner akan sampai 114 dB. Kami tidak mendapat sidefill monitors, lighting guy kami, Boy, hanya boleh menggunakan sebagian kecil kontrol lighting, dan kami belum tentu bisa bertemu dengan personil band Metallica. Semua ini tidak masalah, dan kami tidak komplain, karena kami memang sudah mempersiapkan diri untuk hal-hal seperti ini. Kami ‘hanya’ tamu di konser band metal terbesar di dunia, jadi selayaknya tamu yang baik, kami akan bersikap sopan dan menuruti peraturan yang ada. After all, ini suatu kesempatan yang sangat langka, berharga dan tidak ingin kami sia-siakan. Soundcheck yang dijadwalkan jam 7 malam, molor menjadi jam 11 malam, karena ada seorang tim produksi dari menajemen Metallica yang datang dan melakukan inspeksi dulu. Biasanya, kami akan komplain dengan waktu yang ngaret. Malam itu, kami menerimanya dengan sangat santai,
Whatever Metallica’s management says, we will be ready.” Haha. Akhirnya waktu soundcheck tiba, dan kami mencoba semuanya. Setelah semua line aman, kami mencoba 2 lagu dan kemudian soundcheck selesai. Sebenarnya ingin mencoba 1 lagu lagi karena sedikit belum puas, tapi tidak diijinkan. Sekali lagi, tidak masalah! Haha! Kelar sekitar jam 2 dini hari, kamipun pulang, hari yang cukup melelahkan. Tidak banyak orang tahu kalau malam itu dan keesokan harinya, beberapa dari kami justru sulit tidur. Nervous and super excited!
Sabtu pagi, kami latihan kembali untuk terakhir kali sebelum hari H. Stevie-DeadSquad ikut bergabung dengan kami untuk menyempurnakan “Ace Of Spades” dengan kami. Eben-Burgerkill belum bisa bergabung dengan kami karena malam ini masih perform di Tasik, sementara Adjie-Down For Life masih dalam perjalanan menuju Jakarta dari Solo. Telefon interview dari berbagai media dan stasiun radio masih masuk. Sore hari, saya dan Road Manager Ade Putri briefing terakhir dengan Adry Boim dan Raisa di Hotel Mulia dimana Raisa sedang gladi resik untuk perform malam ini. Kami bercanda dengan mereka, kalau kemungkinan besok backstage-nya tidak akan se-fancy Hotel Mulia. Setelah briefing sedikit detil,  kami pulang. Istirahat. Tapi tentu saja, sebagian besar dari kami ternyata malah sulit tidur.
D-Day! Ranah media sosial penuh dengan mereka yang bersemangat dan siap untuk event akbar ini. Tim Seringai berkumpul di Fairgrounds SCBD dimana beberapa orang dapat menaruh kendaraannya dengan aman. Kru kami, Miko-sound engineer, Comin-stage manager, Jhony-monitor engineer, Anggi-bass tech, Deddy-guitar tech, Labo-drum tech, dan Boy-light tech, sudah standby di GBK. Para istri/pacar kami juga ikut, Syarinta, Tabita, Adita dan juga Veroland dari KickAss Choppers. Fotografer Rendha, videographers Firman dan Rangga juga tampak sudah siap. Saya juga berjanji dengan seorang teman, Rikigede, yang hendak mengambil tiket Festival sisa terakhir dari saya. Jam 14.00, kamipun berangkat ke venue, sebagian membawa kendaraan, sebagian ingin berjalan kaki. Kami harus tiba di venue jam 15.00 menurut panitia dan manajemen Metallica. Dan kami juga masih belum tahu akan perform jam berapa, tapi menyimak jam performa band-band opening act di negara-negara lain, sekitar jam 18.30.
Masuk ke lingkar dalam Gelora Bung Karno, kami bertemu dengan banyak teman-teman yang memang biasa kerja di event. Menyambut dan menyelamati kami. Mereka tampak senang dan ikut bangga, mengharukan. Menuju backstage yang terletak tepat di belakang kiri panggung raksasa. Ternyata ruang backstage-nya bisa jadi adalah ruangan backstage terbaik yang pernah kami dapatkan: memiliki 4 AC portable besar, yang berarti super nyaman dengan toilet portable juga disebelahnya. Wow.
Kami mendapat brief dari manajemen Metallica via panitia kalau kami boleh foto-foto di area backstage bawah,, tapi tidak boleh meng-upload-nya ke media sosial. Sementara di stage dan backstage atas, kami tidak diperkenankan sama sekali untuk memotret atau merekam apapun. Harus bersih. Backstage sang headliner, berada di dalam, sementara tenda ruang tunggu sesaat sebelum mereka akan on stage, terletak di kanan belakang stage. Tim produksi kami merapihkan segala sesuatunya di stage, dengan arahan stage manager lokal. Backstage atas tampak rapih. Dan sungguh menggoda untuk berfoto disana: banyak kargo equipment Metallica dengan logonya di tiap sisi.
Ketika kami sedang menunggu di backstage bawah, tiba-tiba sekitar jam 17.00 terdengar suara gemuruh mengerikan dari arah lapangan stadion. Semua orang kaget dan menghambur ke atas, dekat stage. Ternyata suara gemuruh ini adalah saat gate Festival sudah dibuka, para crowd berlarian senang sambil berteriak-teriak, mirip suara para zombie di film World War Z. Sangar! Tim produksi Metallica juga kaget dan mengawasi dari atas stage dengan sedikit was-was. Kalau menguping respon dan obrolan mereka, mereka sendiri tampak kaget karena biasanya tidak seperti itu: crowd yang masuk biasanya berlarian, tapi cenderung lebih santai. Well, this is motherfukkin’ Indonesia, man! We’re the loudest! Front row mulai penuh, terutama di dalam Mojo Barriers depan. Saya, Adjie, dan Stevie kemudian naik ke backstage atas dan menonton para crowd memenuhi front row. Keren. Tiba-tiba gitaris Metallica, Kirk Hammett dan bassis Rob Trujillo muncul di backstage atas, mau melihat crowd yang sudah memenuhi front row. Saya melihat Stevie dan Adjie, dan mereka pun melihat kepada saya. Muka kami menunjukkan tidak percaya ada 2 dari 4 legenda metal sedang berdiri tepat di depan dan samping kami. Mata kami berbicara, “Shiiiit.”
Semalam sebelumnya, saya berkontak-kontakan dengan fotografer Suicidal Tendencies, Pep Williams, melalui Whatsapp, mengabari kalau Seringai akan menjadi opening act Metallica. Dia senang dan menyelamati saya, dan ternyata segera memberi tahu vokalis Suicidal Tendencies, Mike Muir. Mereka sedang bersama kembali dalam tour Amerika Selatan. Pep juga mengirim pesan,
“Say hi to the boys from us! Mike is really proud with you guys!” Jadi saya memberanikan diri berbicara dengan Rob Trujillo,
“Hey Rob. You know Pep Williams? Him and Mike Muir said hi.”
“Oh wow, you know Pep and Mike? We just met and played together with Infectious Grooves…”
“Yeah I know, Orion Fest, right? Suicidal Tendencies was here a couple months ago, we had a barbecue with Pep and Mike. Awesome guys. They’re touring in Chile if I’m not mistaken.”
“S.T. played here? Cool!” Kami mengobrol lagi sedikit, tapi kami lupa memperkenalkan diri. Sementara Kirk Hammett, sambil mengobrol dengan orang produksi stage dari Metallica, sesekali mencuri pandang ke t-shirt yang sedang saya pakai, sebuah t-shirt Septic Death. It was one of his favorite bands, and I was playing cool. Norak. Lalu rupanya Rob dan Kirk terlihat sedikit oleh crowd di front row dan mereka bersorak. Kirk tampak menikmatinya, dan sesekali ‘menggoda’ front row crowd dengan memunculkan kepalanya. Sorak sorai kembali tentu saja. Akhirnya Rob dan Kirk masuk kembali dan berpamitan dengan tim stage dan tersenyum kepada kami. Saya, Stevie dan Adjie lupa memanfaatkan momen tadi: meminta berfoto bersama dengan Rob dan Kirk. Tapi mungkin juga akan dilarang, kan memang tidak boleh berfoto di backstage atas.
Kami kembali ke backstage bawah dan kegirangan seperti anak kecil baru menonton Disney On Ice. Surreal! Di bawah, anak-anak sedang santai, dan kaget dan memaki kami ketika tahu kalau kami baru saja bertemu Rob dan Kirk. Saat ini Wendi dari Rolling Stone Indonesia, Eben, Raisa, Adry Boim, dan manajer personal Raisa, Wira, baru muncul di backstage, bergabung dengan kami. Kami baru mendapat kabar akan main jam 18.40 tepat. Stage manager dari Metallica juga mengabari kami kalau jam 19.40 sesudah kami perform, kami harus stand by di backstage atas karena Metallica ingin menemui kami. Wah.
Mendekati jam on stage, kami dipanggil dari backstage bawah untuk bersiap di atas. Tidak seperti biasanya, kami tidak banyak melakukan stretching sebelum show, karena fokus kami sudah macam-macam. Sebagai informasi tambahan, ini stage pertama Seringai setelah libur bulan puasa dan Lebaran, jadi seharusnya kami stretching lebih lama. Sammy agak pucat dan lemas, anxious. Sementara Ricky dan Khemod hanya cengengesan, tapi tetap terlihat sangat nervous dan excited. Sementara saya? Entah keberapa kali saya muntah-muntah karena nervous. Saya memang selalu nervous sebelum on stage dimanapun dan muntah biasanya lebih melegakan saya. Hanya saja, malam itu saya muntah ekstra banyak! Tidak hanya kami, para istri/pacar kami juga ikut nervous dan excited. Mereka deg-degan dan lemas, haha!

Eben-Burgerkill, Adjie-Down For Life, Ricky, Stevie-DeadSquad, Raisa, Arian13, Khemod, dan Sammy. foto oleh Rendha Rais.
Show time! Semua berpelukan sebelum keluar ke atas stage, dan kami keluar satu demi satu. Sammy, Khemod dan Ricky. Sammy mengucapkan salam sedikit dan memperkenalkan Raisa, yang akan menyanyikan “Indonesia Raya”. Raisa masuk stage disambut gemuruh dari crowd, dan setelah berdiri di tengah, mulai menyanyikan “Indonesia Raya”. Segera saja, semua orang ikut menyanyikannya. Sejujurnya, malam ini Raisa tampil gagah: memimpin lagu kebangsaan dengan karakter vokal yang tegas, dan hanya karena dia bersama dengan band seperti kami, dia tidak kemudian trying to hard to be a rock chick. Raisa tetap menjadi diri sendiri, tampil cantik dan anggun. Setelah selesai, terdengar gemuruh chant, “Raisa! Raisa! Raisa!”. She nailed it! Saya bangga. Raisa meng-introduce kami dan masuk, langsung saja Khemod memberi tanda memulai lagu intro sekalian soundcheck kilat sound di stage. Gitar Ricky ternyata mati, rupanya amp head-nya sedikit kepanasan karena sudah standby dari sore tadi. Shit. Tapi begitu masuk lagu pertama, “Program Party Seringai”, semua kembali normal. Monitor depan kurang keras, karena kami tidak ada sidefill monitors, jadi saya memberi tanda kepada Jhony, monitor engineer kami untuk mengeraskan volume di monitor. Lagu demi lagu kami mainkan: “Canis Dirus”, “Program Party Seringai”, “Tragedi”, “Akselerasi Maksimum”, “Serigala Militia”. Terdengar massa yang ikut singalong kencang di lagu-lagu kami. Pada lagu “Dilarang Di Bandung” kami memanggil Eben, dan dia memainkan lagu dengan sempurna. Disini kaki saya sempat kejang karena kurang pemanasan di sebelumnya, tapi rasa sakit masih bisa ditahan. Mundur sedikit ketika Eben maju ke depan, meluruskan kaki sedikit di dekat ampli bass. “Kaki kejang ini tidak akan menghentikan gue.” begitu pikir saya. Belakangan, saya tahu saya tidak sendiri, tangan Sammy juga sempat kejang sedikit, tapi tetap terus bermain. Di lagu “Mengadili Persepsi [Bermain Tuhan]”, saya mempersembahkan performance kami malam itu untuk band Roxx, yang menginspirasi kam sejak kecil untuk bermain musik. This is for you guys! Koor dari crowd dalam lagu ini terdengar mantap!
“Individu! Individu merdeka! INDIVIDU! INDIVIDU MERDEKA!” Seru. Masuk lagu terakhir, kami sekalian berpamitan. Memanggil Stevie dan Adjie, kami menggeber  sebuah nomor klasik dari Motörhead, “Ace Of Spades”. Saya mendedikasikan lagu ini untuk Lemmy, tentu saja, dan mengajak semua mendoakan Lemmy untuk segera sembuh, agar suatu hari nanti bisa bermain di Indonesia! Kelar “Ace Of Spades”, semua guest performers kembali ke stage, termasuk Raisa dan Eben. Kami memberi hormat kepada crowd, dan mengajak chanting, “’Tallica! ‘Tallica!”. Ini akan menjadi malam yang tidak akan kami lupakan.

Seringai on stage. foto oleh Rendha Rais.
Di belakang, semua tampak senang. We’ve made it! 30-40 menit, 7 lagu. Sesuai target. Cukup melelahkan karena berada di stage ternyata cukup panas karena sisinya tertutup oleh tribun jadi tidak banyak angin berhembus. Biasanya, sebuah set normal Seringai adalah sekitar 10-12 lagu satu kali perform.  Ketika mau turun, stage manager mengingatkan kalau para pemain band harus kembali ke stage karena Metallica ingin bertemu dengan kami. Jadi beberapa diantara kami pergi ke backstage bawah, mengambil memorabilia yang ingin ‘dilegalisir’ oleh para personil Metallica. Saya dan Khemod mengambil beberapa sampul vinyl records yang sudah disiapkan, sementara Eben segera mengambil gitar andalannya. Kembali ke atas, panitia meminta hanya personil Seringai saja yang menemui band, artinya hanya 4 orang saja. Tapi saya berhasil meyakinkan mereka kalau teman-teman guest performers juga harus bertemu dengan Metallica, karena mereka ikut perform juga. Jadi Raisa, Eben, Stevie dan Adjie dapat bertemu Metallica juga. Kami kemudian menuju sebuah ‘ruang tunggu’ dimana seorang koordinator dari pihak manajemen Metallica, Bri, mem-briefing kami.
Hi, I’m Bri. So you guys are gonna meet the band very soon! If you want to wait outside for a bit it’s okay too, and we’ll let you know. But if you want to wait here, it’s okay too! The band now is preparing for their performance, but before that they will meet you guys and chat a bit. Are you excited?” Sebuah koor lantang,
“YEEAAAHHH!” Bri tertawa, dan melanjutkan briefing. Kami tidak diperkenankan untuk memotret apapun, jadi akan ada fotografer ofisial Metallica yang akan memotret, dan hanya 1 kamera yang diperbolehkan dari kami untuk memotret agar membuat waktu lebih efektif. Dan sayangnya, kami tidak diperkenankan untuk minta tanda tangan karena akan Metallica harus bersiap-siap. No problem! Oh, kami tidak sendiri, ada beberapa kawan dari label Metallica, Universal Music Indonesia yang juga hadir di ruang tunggu ini. Juga ada Mas Dhani Pete manajer GIGI dan juga Pak Herman dari Djarum disana. Bri meminta kami untuk membagi 2 grup yang akan menemui Metallica: satu grup dari label, dan  satu lagi grup dari opening act performers. Saya membawa sebuah tas kecil yang berisi CD Seringai dan beberapa CD kompilasi band metal & punk lokal yang saya buat sebelumnya, termasuk setumpuk skullbandana Seringai. Saya menghampiri Bri, dan bertanya kepadanya apakah saya boleh menitipkan sedikit oleh-oleh ini untuk band. Bri tersenyum ramah dan bilang boleh. Saya mengambil sebuah skullbandana Seringai, dan sedikit memperagakan cara memakainya.
“You should give this and show it to the boys!” ujar saya, dan Bri merespon,
“Oh wow! This is so cool! Did you bring a lot of these bandanas?”
“Yes, there’s about 10 skullbandanas in here.”
“Can I have one?”
“Of course you can have one, Bri!” Dan Bri pun senang, dan membawa pergi  tas kecil oleh-oleh dari kami. Entah diberikan kepada band atau tidak nantinya, but it’s worth the shot. Hahah. Saya kembali ke tempat kawan-kawan menunggu dan mengobrol banyak. Sedikit berbeda dengan sebelum perform, semua kawan lebih lepas, sudah tidak ada beban. Para eksekutif Universal Music Indonesia kaget karena melihat Raisa ada bersama kami. Universal Music Indonesia adalah label rekaman Raisa, dan mereka sama sekali tidak tahu kalau Raisa akan ikut perform bersama kami. Ha!
Dan, setelah sekitar 30 menit menunggu, para personil band legenda pun keluar. Saya tidak ingat siapa dulu yang keluar, tapi yang pasti Lars Ulrich datang belakangan. James Hetfield, Kirk Hammett, dan Rob Trujillo bertemu dengan grup pertama dulu dan berfoto bersama, baru menghampiri kami. Semua tampak senang, James Hetfield menunjuk t-shirt Trouble yang dipakai Ricky,
I love this band! Shit, that’s actually my favorite band!” Dan Kirk Hammett lalu melirik dan menunjuk t-shirt Khemod yang memakai t-shirt Death Angel Act III, kegirangan,
Dude! You gotta listen to their new album! It’s gonna be fucking awesome!” Kalau tidak salah, Kirk mengisi gitar dalam sebuah lagu di album baru Death Angel, selain dulu ikut memproduseri demo pertama mereka, Kill As One Demo. James tertawa, dan melanjutkan,
Ah, come on guys, show me what you got! Whoa, Kvelertak! My new favorite band!” James menunjuk t-shirt Sammy. Dia malah mengecek t-shirts apa saja yang kami pakai. Strategi ‘mengambil hati’ dengan cara memakai t-shirt-tshirt band favorit mereka, berhasil. Lars belakangan muncul dan bersalaman dengan kami semua. Kami juga memperkenalkan Raisa yang menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, dan mereka rupanya mendengar dari backstage mereka. “So it was you! Beautiful voice!” Kami juga kemudian memperkenalkan masing-masing Eben, Stevie dan Adjie kepada mereka.
These, are the local metal musicians that played with us earlier. We have a big, underrated scene here in Indonesia.” Tentu saja kami tidak terlalu berharap akan diingat oleh mereka apalagi mereka bertemu dengan banyak orang baru setiap saat, tapi kesempatan bertemu dengan mereka mungkin adalah langka dan akan menjadi salah satu highlight dalam karir bermusik kami semua. Setelah sedikit mengobrol dengan mereka selayaknya metalheads yang bertemu metalheads lainnya dan berbicara tentang band-band favorit mereka, mereka pun harus menyudahi chit-chat ini. Kami semua berfoto bersama menggunakan smartphone Eben, dan fotografer legendaris mereka, Ross Halfin, mengambil foto kami semua. Mereka pun pamit menuju stage.

Raisa, Rob Trujillo, Sammy, Kirk Hammett. Ricky, Eben, Khemod, Stevie, Adjie, Arian13,James Hetfield, Ade Putri-road manager Seringai, Pak Herman dari Djarum, dan Lars Ulrich. foto oleh Bri.
Setelah mereka pergi, kami pun bergegas menuju backstage bawah, beres-beres dan ganti baju sedikit, dan menyusul tim Seringai yang berisi kru dan istri/pacar kami yang rupanya sudah ‘diusir’ dari backstage bawah. Metallica is going to fukking play, man! This is gonna be fun!
Konser Metallica berjalan dengan lancar, dan 60.000 crowd Indonesia terhibur dan terharu. Ini adalah salah satu konser terbaik yang pernah saya hadiri. Cerita detil tentang konsernya sendiri, mungkin akan saya tulis di tulisan lain. Saya berterima kasih untuk setiap orang yang sudah mendukung kami dari awal, dan pihak Black Rock Entertainment yang mewujudkan mimpi kecil kami semua untuk bisa menonton band favorit kami, langsung. Pada akhirnya, menjadi opening act sebuah band legenda seperti Metallica bagi saya adalah sebuah perjalanan panjang: 20 tahun lalu gagal menonton konser mereka disini, sekarang terbayar sudah.
I can die a happy man.

1 comment: